Umar bin Khattab berkata : “Dia adalah pemuda yang dewasa. Lisannya penuh tanya dan sangat cerdas hatinya”
Dia adalah anak paman (sepupu) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lahir tiga tahun sebelum hijrah. Dia hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mendampinginya, karena ia adalah anak pamannya (sepupunya). Sedangkan bibinya, Maimunah, merupakan istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Rasulullah pernah merengkuhnya ke dada beliau seraya berdoa,
“Ya Allah, ajarilah ia Al-Hikmah.”
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Al-Kitab (Al-Qur’an).”
Beliau juga mendoakannya ketika menyiapkan air wudhu untuk beliau,
“Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.”
Berkat doa yang diberkahi ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’nya Umat (lautan ilmu) di dalam menyebarkan tafsir dan fiqih.
Abdullah bin Abbas menempuh semua jalan untuk menimba ilmu dan mengerahkan seluruh daya dan upayanya untuk mendapatkan ilmu. Beliau senantiasa menimba ilmu secara langsung dari sumber yakni Rasulullah ﷺ selama hidupnya hingga tatkala Rasulullah ﷺ wafat, Ketika itu Abdullah baru berusia 13 tahun. Beliau melanjutkan menimba ilmu dari ulama yang berasal dari kalangan Para Sahabat yang tersisa.
Beiau menceritakan tentang dirinya:
”Dahulu bila aku mendengar seorang di antara sahabat Rasulullah mempunyai sebuah hadis, maka aku mendatangi depan rumahnya di waktu tidur siangnya. Aku pun menjadikan selendangku sebagai bantal di ambang rumahnya. Sehingga terkadang angin membawa debu berterbangan mengenai diriku, walaupun sebenarnya, jika aku minta izin untuk masuk, pasti aku akan diizinkan masuk. Aku lebih memilih melakukan demikian karna aku segan. Dan Ketika sahabat tersebut keluar rumah, ia pun melihatku dengan keadaan seperti ini. Ia pun berkata:
“Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membawamu ke mari? Tidakkah engkau mengirim seseorang menyuruhku mendatangimu?”
Aku menjawab:
“Aku yang lebih berhak datang kepadamu, karena ilmu itu didatangi bukan diminta datang.”
Kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadis.
Sebagaimana beliau rendah hati dalam menuntut ilmu beliau juga sangat memuliakan ulama.
Seorang ulama besar dari kalangan sahabat yaitu Zaid bin Tsabit, seorang penulis wahyu, pemimpin penduduk kota Madinah dalam hal putusan perkara, Fikih, Qiraah (bacaan Al Quran), dan Faraidh (hukum waris) ketika itu ingin menaiki tunggangannya, maka, Abdullah bin Abbas, pemuda Hasyim (suku Quraisy) berdiri di hadapannya layaknya hamba sahaya yang berdiri di hadapan tuannya, seraya memegangi hewan tunggangnya sambil menggenggam tali kekangnya.
Zaid pun berkata:
“Kau tidak perlu demikian wahai sepupu Rasulullah”
Abdullah pun menjawab:
“Demikianlah kami diperintahkan bersikap terhadap ulama kami”
Zaid pun membalasnya:
“Perlihatkanlah tanganmu padaku”
Abdullah pun mengeluarkan tangannya, Zaid pun mendekatinya dan mencium tangannya sembari berkata:
“Demikianlah kami diperintahkan bersikap terhadap keluarga Nabi kami”
Abdullah bin Abbas telah meniti jalan ilmu hingga mencapai kedudukan yang membuat para tokoh besar terkagum-kagum, di antaranya, Masruq bin Al Ajda’ salah satu Tabiin senior. Beliau berkata:
“Apa bila aku melihat Abdullah bin Abbas maka aku katakan dia adalah orang paling rupawan. Dan apa bila dia berucap aku katakan dia adalah orang paling fasih. Dan apabila dia berbicara aku akan katakan dia adalah orang paling berilmu.”
Catatan :
Diterjemahkan secara bebas dari buku Ushul fi Tafsir karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan buku Suwar min Hayat As Shahabah karya Dr. Abdurrahman Raafat Pasha